Entah gelap, atau hanya redup yang melelapkan. langit kali ini tak bermendung, tak berawan.
Seolah membiarkanku berbisik pada rembulan yang menatap wajahku, dengan sendu.
"Ada rindu yang menyesak", kukatakan padanya, "yang merenggut cahaya dari jiwa yang tak lagi bergerak."
Dan hanya diam yang dia miliki, sama seperti biasanya.
Bintang pun demikian, tak menjawab ketika kubercakap, hanya bergumam kepada malam dengan bahasa yang tak kumengerti. Mungkin, tentang takdir, hidup, dan akhir dari dunia fana manusia.
"Ada sinar yang ingin kupinjam darimu," kataku, "dan ingin ku lukiskan dengan mimpiku di hati seorang manusia."
Kembali, hanya diam yang dia miliki, sama seperti biasanya.
Mungkin kembali menggumamkan nama ku kepada sang langit, yang mengerjapkan mata nya ketika itu.
Kupandang sang langit, dan ku berbisik pada udara yang kuhela:
"dan ketika pagi mu datang, dan embun mu bergelimang, kan kudekap udara yang membeku, dan kuusir dingin mu yang membelenggu."
Sesaat tersentak, langit beranjak, menjauh dari gelap mendesak.
"Tahukah engkau, wahai langit, gelap yang memayungi, dan cahaya yang melindungi, tentang seraut wajah yang tertanam dalam?" tanyaku..
Diam, seakan hanya itu bahasa yang mereka punya, yang dalam keabadiannya tak pernah mengerti tentang arti kematian.
Dan aku kembali bercerita, tentang angkasa yang kan kupenuhi dengan hiasan terindah yang pernah dilihat oleh manusia, ataupun mereka. Dan kan kucipta sebuah melodi yang mengiringi, menemani segala isi dunia berputar mengelilingi kehampaan ditengahnya.
Dan kan kubuat dunia ku sendiri, dan segala isi nya, walau sederhana, untuk nya yang kurindu, bidadari jiwa, malaikat yang mengisi hati, yang menghantarkanku pada batas-batas hidup dan tepi kematian.
Dan kan kuungkap segala hal yang terkurung lama dalam fikir ku, tertanam lama dalam hati ku.
"Ada rindu yang menyesak", kembali, kukatakan padanya, "yang merenggut cahaya dari jiwa yang tak lagi bergerak."
0 komentar:
Posting Komentar