Tolong jangan tersinggung jika kubilang aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Pertama, akan ada jeda kosong sekurang-kurangnya tiga menit, di mana aku akan melipat tangan di dada sambil memandangimu sabar, dan kamu akan memandang kosong ke satu titik, seolah di titik itulah halte tempat berbagai kenangan tentangnya berkumpul dan siap diangkut ke seluruh tubuhmu. Mulutmu lalu berkata-kata tentangnya, matamu dipenuhi olehnya, dan tak lama lagi kamu akan terlapisi saput yang tak bisa kutembus. Hanya kamu sendirian di situ. Dan kamu tak pernah tahu itu.
Ceritamu kerap berganti selama lima tahun terakhir. Semenjak kamu resmi tergila-gila padanya. Kadang kamu bahagia, kadang kamu biasa-biasa, kadang kamu nelangsa. Namun saput itu selalu ada. Kadang membuatku ingin gila.
"Aku menyadari sesuatu waktu aku sakit kemarin." Kamu mulai bertutur setelah sembilan puluh detik menatap piano. "Satu malam aku sempat terlalu lemas untuk bangun, padahal aku cuma ingin ambil minum. Tidak ada siapa-siapa yang bisa kumintai tolong..."
Jaketku harus kurapatkan. Sensasi meriang itu datang lagi.
"Malam itu rasanya aku sampai ke titik terendah. Aku capek. Dan kamu tahu? Aku tidak butuh dia. Yang kubutuhkan adalah orang yang menyayangi aku... dan segelas air putih."
Kepalamu menunduk, matamu terkatup, kamu sedang menahan tangis. Malam panjang kita resmi dimulai.
"Tapi... aku janji… tangisan ini buat yang terakhir kali…" katamu tersendat, antara tawa dan isak. Berusaha tampil tegar.
Dan inilah saatnya aku menepuk halus punggung tanganmu. Dua-tiga kali tepuk. Dan tibalah saatnya kamu tersengguk-sengguk. Tak terhitung banyaknya. Lalu bedak dan lipstikmu meluntur tergosok tisu.
"Orang... yang begitu tahu aku sakit... mau jam berapapun... langsung datang..." Susah payah kamu bicara.
Aku ingat malam itu. Hujan menggelontor sampai dahan-dahan pohon tua di jalanan rumahku rontok seperti daun kering. Teleponku berdering pukul setengah dua belas malam. Aku mobilku kering, jadi kupinjam motor adikku. Sayang adikku tak punya jas hujan. Dan aku terlalu terburu-buru untuk ingat bawa baju ganti. Ada seseorang yang membutuhkanku. Ia minta dibelikan obat flu karena stok di rumahnya habis. Ia lalu minta dibawakan segelas air, yang hangat. Aku menungguinya sampai ia ketiduran. Dan wajahnya saat memejamkan mata, saat semua kebutuhannya terpenuhi, begitu damai. Membuatku lupa bahwa berbaju basah pada tengah malam bisa mengundang penyakit. Saat itu ada yang lebih penting bagiku daripada mengkhawatirkan virus influenza. Aku ingin membisikkan selamat tidur, jangan bermimpi. Mimpi mengurangi kualitas istirahatnya. Dan untuk bersamaku, ia tak perlu mimpi.
Napasmu mulai terdengar teratur. Air mata masih mengalir satu-satu, tapi bahumu tak lagi naik turun. Kamu menatapku lugu, "Keinginan itu... tidak ketinggian, kan?"
Lama baru aku bisa menggeleng. Tak ada yang muluk dari obat flu dan air putih. Tapi kamu mempertanyakannya seperti putri minta dibuatkan seribu candi dalam semalam.
"Jadi, sekarang kamu mau bagaimana?" Demikianlah ciri khas malam curhat kita. Kamu tidak butuh instruksi. Aku hanya bertindakseumpama cermin yang memantulkan segala yang kamu inginkan. Kamu sudah tahu harus berbuat apa, sebagaimana kamu selalu tahu perasaanmu, kepedihanmu, dan langkahmu berikutnya. Kamu hanya butuh kalimat tanya.
"Aku akan diam," jawabmu dengan nada mantap yang membuat sengguk dan isak barusan seolah tak pernah terjadi.
"Diam?"
"Ya. Diam! Diam di tempat. Tidak ada lagi usaha macam-macam, mimpi muluk-muluk. Karena aku yakin di luar sana, pasti ada orang yang mau tulus sayang sama aku, yang mau menemani aku pada saat susah, pada saat aku sakit..."
Kamu selalu tahu kebutuhanmu dari waktu ke waktu. Yang tidak kamu tahu adalah kamu sendirian dalam saput itu.
Gelas-gelas kita kembali diisi. Lagi, kamu mengajakku mengadu keduanya, dan kali ini dengan sumringah kamu berkata, "Demi penantian yang baru! Yang tidak muluk-muluk! Cheers!"
Sesuatu dalam ruangan ini terlalu menyakitkan bagiku. Entah semburan angin dari mesin pendingin atau suara piano yang mengiris-iris kuping. Entah anggur ini terlalu tua bagi lidahku atau cinta ini terlalu tua bagi hatiku. Kurapatkan jaketku hingga tak bisa ditarik ke mana-mana lagi.
"Kamu sakit?" Kudengar kamu bertanya dengan nada cemas. Kulihat kedua alismu spontan bertemu, menunjukkan rasa heran yang sungguhan.
"Ya."
"Gara-gara kehujanan waktu ke rumahku itu, ya?"
Sebotol anggur putih ada di depan matamu,
tapi kamu tak pernah tahu. Kamu terus menanti.
Segelas air putih.
0 komentar:
Posting Komentar